Related Websites

Monday, February 25, 2013

Jenis-Jenis Narkoba


JENIS-JENIS NARKOBA
Secara umum jenis narkoba itu dapat dikelompokan dalam tiga golongan yaitu : Narkotika, Psikotropika dan Bahan berbahaya.
1. Opiod. Kata ini berasal dad tumbuhan opium yang banyak mengandung alkaloid opium termasuk morfin. Contoh yang banyak beredar dipasaran adalah candu, morfin, heroin atau putauw, codein, Demerol dan methadone. Efek terhadap kesehatan tubuh adalah kekacauan dalam bicara, rabun dimalam hari, merusak liver dan ginjal, resiko HIV tinggi, kematian bila overdisis.

2. Kokain. zat ini juga berasal dad tumbuhan liar Erythroxylon coca . Nama lain yang sering kita dengar adalah snow, coke, girl,lady dan crack. Efek yang menonjol dari kokain ini apabila terjadi putus kokain maka akan timbul kinginan bunuh diri.


3. Canabis atau Ganja adalah sejenis tanaman yang nama latinnya Cannabis sativa dan masyarakat sudah banyak yang mengenalnya. Karena tanaman ini termasuk dalam jenis narkoba maka peredarannyapun juga dilarang, karena dapat menimbulkan gangguan pada syaraf.


            
 PSIKOTROPlKA. Adalah obat baik alamiah atau sintetis yang bersifat psikoaktif yang melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifis mental dan perilaku. Bahan ini dapat menimbulkan depresi mental, merangsang (stimulasi) gangguan syaraf dan menimbulkan halusinasi atau daya khayalan tentang kindahan yang luar biasa. Jenis jenis psikotropika yang populer dan banyak beredar di masyarakat serta dikonsumsi oleh para remaja adalah :

Ecstacy : zat ini juga dikenal dengan XTC yang nama kimianya adalah 3-4 Methylene Dioxy Vethil Amphetainine. Yang mengkonsumsi barang ini seluruh tubuhnya terasa melayang-layang dan menghilangkan perasaan malu,sehingga berani tampil percaya did . Yang ada dibnaknya hanyalah pikiran yang kosong, rilex dan bayangan yang indah-indah.

Shabu-shabu : adalah jenis narkoba yang juga banyak dikonsumsi oleh masyarakat, bentuknya kristal berwarna putih. Cara memakainya dengan dibakar di atas kertas aluminium foil yang asapnya dihirup dengan menggunakan bong (alat penghisap). Efek dari bahan ini dapat menimbulkan paranoid atau rasa takut yang belebihan dan menjadi lebih sensitive serta mudah tersinggung. Contoh yang dapat menimbulkan dipresi mental misalnya pil BK,Magadon, Valium, mandrake dan rohypnol. Sedang yang dapat menimbulkan halusinasi ialah LSD (Licercik acid dhietitamide).
   
   

 BAHAN BERBAHAYA. Adalah zat atau bahan yang berasal dari bahan kimia atau biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan tubuh dan lingkungan hidup. Yang termasuk dalam golongan bahan berbahaya ini adalah :
Minuman keras. Adalah semua jenis mengadung alcohol yang kadar prosentasenya berkisar antara 1 % - 50 % . Jenis minuman yang banyak beredar dipasaran antara lain : Bir dan Green sand ( kadar alakoholnya 1% -5 %), Martini dan Wine atau anggur (kadamya antara 5 % - 20 %),sedang Whisky brandy kadar alkoholnya antara 20 % - 50%.

Nikotin. Adalah merupakan bahan adiktif seperti kokain dan heroin. Yang paling umum terdapat pada tembakau yang dihisap dalam bentuk rokok maupun cerutu. Nikotin sangat beracun (toksik) yang dalam dosis 60 mg pada orang dewasa dapat mematikan karena kegagalan pemafasan.

Volatile solvent atau inhalensia. Adalah zat adiktif yang pada umumnya berbentuk cairan yang mudah menguap diudara terbuka. Uapnya ini yang membahayakan dan contoh yang banyak beredar dipasaran seperti : lem uhhu, acetone,aica aibon, castol dan dan premix.

Zat Desainer. Adalah obat ramuan jalanan yang dapat menimbulkan kecanduan. Misalnya : speed ball, peace pills, crystal, angle dust, rocketfuel dll.

»»  Readmore...

Reviev Film Habibie dan Ainun

Habibie & ...
Review film Habibie dan Ainun, walaupun film ini sudah lama tayang di bioskop, namun film ini merupakan film yang sangat mengesankan. Sebagian besar penduduk Indonesia tentu sudah mengenal sosok B.J. Habibie. Selain dikenal dengan kecerdasannya, Mantan Presiden RI tersebut ternyata juga sangat mencintai Indonesia dan istrinya yang bernama Ainun. Di film garapan sutradara Faozan Rizal ini, akan mengungkap kehidupan pribadi sang Profesor mulai dari perjalanan karir hingga ke kisah asmaranya.



Rudy Habibie (Reza Rahadian) adalah seorang yang jenius dan selalu memiliki prestasi yang membanggakan disekolahnya. Sama halnya dengan Ainun (Bunga Citra Lestari) yang juga dikenal sangat pintar. Meskipun awal perkenalan keduanya sangatlah tidak menyenangkan, namun mereka akhirnya dipertemukan kembali saat mulai beranjak dewasa.

Habibie tidak menyangka kalau Ainun yang dulu sempat dia ejek berkulit hitam kini merubah menjadi gadis ayu nan cantik. Sejak saat itulah benih-benih cinta mulai muncul di kedua hati mereka. Dengan bekal pengalaman pendidikan di luar negeri, Habibie kemudian bertekad untuk meminang Ainun dan hijrah ke Jerman.

Untuk menggapai mimpi tentu tak mudah, Habibie dan Ainun tahu itu. Cinta mereka semakin terbangun dalam proses mewujudkan impian tersebut. Dinginnya salju di Jerman, pengorbanan, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kuasa sempat mereka hadapi. Tapi keduanya tetap teguh dan fokus dengan janji dan impian mereka.

Seperti diketahui, Habibie & Ainun adalah film adaptasi dari buku laris karangan B.J. Habibie yang telah dirilis pada 30 November 2010. Buku tersebut menjadi best seller di tahun 2011. Hanya dalam waktu 3 bulan, buku itu berhasil terjual 50 ribu copy. Awalnya buku tersebut hanyalah sebagai terapi B.J. Habibie untuk mengatasi kesedihannya yang sangat teramat dalam atas wafatnya istri tercinta. Ternyata buku tersebut menjadi sebuah novel dokumenter yang luar biasa dan kini berevolusi ke layar lebar di tangan dingin sutradara Faozan Rizal.

Tak dipungkiri nama Faozan Rizal mungkin masih tergolong baru di telinga masyarakat umum. Namun di belakang Faozan ternyata terdapat sosok Hanung Bramantyo yang dikenal selalu tampil cameo di setiap film-film besutannya. Jika bicara mengenai perjalanan karir seorang tokoh ternama dalam sebuah film, tentu yang menjadi salah satu perhatian utamanya adalah memilih atau membuat lokasi bernuansa tempo dulu. Di film ini Faozan berhasil mewujudkan itu. Ia tidak hanya mengembalikan Jakarta dan Bandung ke tahun 60-an hingga 90-an, tapi negara Jerman juga mampu dibuatkan hal serupa.

Pemeran Habibie dan Ainun yaitu Reza Rahadian serta Bunga Citra Lestari sangatlah patut diacungi jempol. Mereka berhasil bekerjasama dengan sangat apik sehingga membuat kisah Habibie & Ainun semakin hidup dan mampu menyentuh hati penonton. Terlebih lagi dengan aksi tingkah khas Habibie yang mampu ditampilkan dengan sangat baik oleh Reza Rahadian.

Film Habibie & Ainun ternyata tidak hanya menonjolkan kisah dramanya saja, didalamnya juga terdapat sisipan humor-humor segar khas para pemuda di tahun 70-an yang diyakini akan mampu memancing tawa penonton. Jika bicara mengenai pesan yang terkandung di film ini, tentunya hal itu tidak perlu diragukan lagi. Lewat film Habibie & Ainun, sosok B.J. Habibie berhasil menyampaikan banyak pesan positif mengenai pengabdian diri terhadap Tanah Air, rasa cinta kepada Indonesia, semangat meraih mimpi dan kehidupan rumah tangga yang dilandasi dengan cinta yang mendalam.
»»  Readmore...

Friday, February 22, 2013

Glaukoma


Glaukoma adalah alah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan matasemakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mataterhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati dan merupakan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan bola mata. Meningkatnya tekanan di dalam bola mata ini disebabkan oleh ketidak-seimbangan antara produksi cairan dan pembuangan cairan dalam bola mata. Apabila tidak segera ditangani, tekanan yang tinggi dalam bola mata bisa merusak jaringan-jaringan syaraf halus yang ada di retina dan di belakang bola mata.
Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. Diperkirakan 66 juta penduduk dunia sampai tahun 2010 akan menderita gangguan penglihatan karena glaukoma. Penyakit glaukoma ini termasuk berbahaya, lebih bahaya daripada katarak karena kebutaan yang disebabkan oleh glaukoma tidak bisa disembuhkan, sedangkan kebutaan yang disebabkan oleh katarak masih bisa diobati dengan operasi atau Obat Terapi Mata Alami.
Penderita glaukoma sering tidak menyadari adanya gangguan penglihatan sampai terjadi kerusakan penglihatan yang sudah lanjut. Diperkirakan 50% penderita glaukoma tidak menyadari mereka menderita penyakit tersebut sampai mereka mengalami kerusakan mata yang parah.
Glaukoma bisa menyerang siapa saja. Penanganan dini sebelum parah adalah jalan satu-satunya cara untuk menghindari kerusakan penglihatan serius akibat glaukoma. Jika Anda yang punya ciri-ciri berikut ini, sebaiknya Anda rutin memeriksakan mata.
  • Ada keluarga Anda yang menderita glaukoma.
  • Tekanan bola mata tinggi (mata Anda cepat lelah).
  • Anda menderita miopia atau rabun jauh.
  • Anda menderita diabetes atau kencing manis.
  • Anda menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi.
  • Migrain atau penyempitan pembuluh darah otak (sirkulasi darah buruk)
  • Pernah mengalami kecelakaan/operasi pada mata sebelumnya
  • Menggunakan steroid (cortisone) dalam jangka waktu lama
    • Lebih dari 45 tahun
Apabila Anda punya salah satu atau beberapa ciri seperti yang kami sebutkan di atas, maka Anda punya "bakat" untuk menderita glaukoma. Segeralah periksa ke dokter mata terdekat. Jika dokter mata Anda mengindikasikan adanya resiko glaukoma yang tinggi atau sudah ada gejala glaukoma ringan, ada baiknya Anda pertimbangkan untuk menggunakan Obat Terapi Mata Alami untuk mencegah dan mengobati glaukoma secara dini. Obat Terapi Mata Alami atau jenis-jenis penanganan glaukoma lainnya hanya bisa mengobati glaukoma yang belum parah (belum terjadi kebutaan total).
Dalam literatur medis dikenal empat jenis glaukoma, yaitu: 

1. Primary Open-Angle Glaucoma / Glaukoma Sudut-Terbuka Primer
Glaukoma Sudut-Terbuka Primer adalah tipe yang paling umum dijumpai. Glaukoma jenis ini bersifat turunan, sehingga resiko tinggi bila ada riwayat dalam keluarga. Biasanya terjadi pada usia dewasa dan berkembang perlahan-lahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Seringkali tidak ada gejala sampai terjadi kerusakan berat dari syaraf optik dan penglihatan terpengaruh secara permanen. Pemeriksaan mata teratur sangatlah penting untuk deteksi dan penanganan dini.
2. Acute Angle-Closure Glaucoma / Glaukoma Sudut-Tertutup Akut
Glaukoma Sudut-Tertutup Akut lebih sering ditemukan karena keluhannya yang mengganggu. Gejalanya adalah sakit mata hebat, pandangan kabur dan terlihat warna pelangi apabila melihat lampu atau cahaya. Beberapa pasien ada yang sering merasa mual dan muntah-muntah. Glaukoma Sudut-Tertutup Akut termasuk yang sangat serius dan dapat mengakibatkan kebutaan dalam waktu yang singkat. Bila Anda merasakan gejala-gejala tersebut segera hubungi dokter spesialis mata Anda dan melakukan perawatan, baik secara medis atau dengan Obat Terapi Mata Alami atau gabungan antara keduanya akan lebih baik.
  
3. Secondary Glaucoma / Glaukoma Sekunder
Glaukoma Sekunder disebabkan oleh kondisi lain seperti katarak, diabetes, mata terluka, peradangan, pendarahan di dalam mata, penyakit mata yang menghalangi cairan mata, dan efek samping dari operasi mata sebelumnya.
  
4. Congenital Glaucoma / Glaukoma Kongenital
Glaukoma Kongenital ditemukan pada saat kelahiran atau segera setelah kelahiran, biasanya disebabkan oleh sistem saluran pembuangan cairan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya tekanan bola mata meningkat terus dan menyebabkan pembesaran mata bayi, bagian depan mata berair dan berkabut dan peka terhadap cahaya.

Gejala
Gejala yang dirasakan pertama kali antara lain : bila memandang lampu neon/sumber cahaya maka akan timbul warna pelangi di sekitar neon tersebut, mata terasa sakit karena posisi mata dalam keadaan membengkak, penglihatan yang tadinya kabur lama kelamaan akan kembali normal, rasa ingin mengedip terus-menerus dengan menekan kedipan berlebihan. Hal inilah yang membuat para penderita glaukoma tidak menyadari bahwa ia sudah menderita penyakit mata yang kronis. Penyakit mata glaukoma ini dapat diderita kedua mata dari si penderita dan jalan satu-satunya untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan operasi.


Penanganan Glaukoma
Glaukoma dapat ditangani dengan obat tetes mata, obat untuk ditelan, tindakan laser atau operasi yang bertujuan untuk menurunkan/menstabilkan tekanan bola mata dan mencegah kerusakan penglihatan lebih lanjut. Semakin dini deteksi glaukoma maka akan semakin besar tingkat kesuksesan pencegahan kerusakan penglihatan.
Obat Terapi Mata Alami Untuk Mengobati Glaukoma
Obat Terapi Mata Alami merupakan penanganan glaukoma tanpa operasi. Obat tetes mata glaukoma adalah bentuk penanganan yang paling umum dan paling awal diberikan oleh dokter atau herbalist pada penderita glaukoma.

Untuk penderita glaukoma, kami memberikan obat tetes herbal berbahan dasar ekstrak daun kitolod yang diramu dengan bahan herbal lainnya. Dari pengalaman empiris terbukti bahwa obat tetes mata herbal yang kami berikan dapat menyembuhkan glaukoma yang masih baru.
Mekanisme yang melandasi kerja ekstrak herbal ini dalam menyembuhkan glaukoma memang masih merupakan misteri dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Dugaan kami, ekstrak herbal ini bisa menurunkan tekanan intraokuler dengan menurunkan laju produksi cairan mata dan meningkatkan laju pengeluarannya.

Selain tetes mata yang bekerja dari luar, kami memberikan kapsul herbal untuk memperlancar peredaran mata di bola mata Anda dan untuk merilekskan jaringan saraf serta jaringan otot di mata Anda. Herbal ini diharapkan bisa membantu mempercepat proses pemulihan mata dengan menurunkan tekanan pada bola mata.
Secara medis, apabila obat-obatan atau prosedur laser tidak dapat mengendalikan tekanan pada mata pasien, maka akan dilakukan tindakan operasi untuk membuat saluran baru yang akan memudahkan cairan mata keluar dari mata. Operasi adalah langkah akhir apabila sudah tidak ada cara lain yang bisa dicoba.
»»  Readmore...

Sunday, February 17, 2013

Upacara Minum Teh (Jepang)




Chashitsu (ruangan upacara minum teh)
Upacara minum teh (茶道, sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Sejarah
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching () atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.
Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.
Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.
Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.
Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.
Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.
Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.
Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.
UPACARA minum teh Jepang atau chanoyu adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chat atau cha no yu.

Sementara upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate. Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu.

Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, dan agama.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa basi, etiket meminum teh, dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchad, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchad.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktikkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh. Tea ceremony di Jepang dan di China sangat berbeda sekali.

Cara minum teh di Jepang sudah ditentukan sejak beberapa ratus tahun dan tidak pernah diubah atau diperbaiki. Teh yang dipakai juga sangat berlainan dengan teh yang dipergunakan di China dan yang diminum atau dimakan juga sangat berlainan.

Teh jepang yang dipergunakan untuk upacara minum teh adalah teh tipe sinensis yang begitu dipetik langsung dikeringkan dan digiling jadi bubuk dan harus disimpan di dalam vacuum jika ingin tahan lama. Kue yang disuguhkan di samping teh saat upacara minum teh disebut Chakaiseki.

Jenis Upacara Minum Teh di Jepang

http://rumahteh.com/images/noimage.gif
Sepanjang tahun terdapat beberapa jenis upacara minum teh (tea ceremony) di Jepang dan memiliki nama tersendiri menurut waktu dan musim saat penyelenggaraannya. Upacara minum teh pertama yang dilaksanakan adalah pada bulan Januari yang disebut Hatsugama, yang artinya adalah "teko pertama". Inilah satu-satunya kesempatan untuk seorang guru (yang mengajarkan mengenai tatacara minum teh di Jepang) mempersiapkan teh dan jamuan makan untuk murid-muridnya. Biasanya sang guru hanya akan memberikan panduan kepada murid-muridnya, makanya saat tersebut merupakan peristiwa yang unik bagi murid dan sang guru sebagai tuan rumah.
Akatsuki-no-chaji
Upacara minum teh ini diselenggarakan pada saat pagi-pagi sekali di musim dingin agar dapat menikmati fajar di ruang minum teh. Hal ini merupakan pengalaman yang luar biasa bagi yang mengikutinya karena dapat menikmati teh sambil menyambut datangnya sinar matahari masuk ke dalam ruangan melalui jendela kecil, sehingga ruangan lambat laun akan terang dan peralatan akan tampak karena sebelumnya hanya menggunakan penerangan dari cahaya lilin.
Yuuzari-no-chaji
Uacara minum teh ini dilakukan pada bulan-bulan yang lebih hangat daripada musim dingin.
Asa-cha
Upacara minum teh ini dilakukan pada saat pagi yang sejuk di musim panas. Upacara minum teh, atau sekedar keiko (latihan bagi murid untuk menyajikan teh) di musim panas begitu sulit dijalani, sebab arang di anglo dan teh yang disajikan benar-benar tidak dapat membantu menghindari rasa panas di Jepang saat musim itu berlangsung.
Shoburo
Upacara shoburo merupakan perayaan tahun baru teh dengan menggunakan pertama kali alat furo (anglo/tungku portabel). Kalau dalam kalender Masehi, perayaan ini diselenggarakan sekitar bulan Mei. Orang Jepang sangat suka melakukan segala sesuatunya dengan perayaan resmi melalui kata sambutan (speech) maupun isyarat melalui gerak tubuh (gestures), sehingga ada pengaruhnya juga terhadap upacara minum teh.
Shougo-no-chaji
Upacara ini merupakan penyelenggaraan minum teh yang dilakukan saat tepat siang hari (tengah hari).
Kuchikiri-no-chaji
Daun teh yang dipanen pada saat musim semi disimpan di dalam guci dan diletakkan di tempat yang sejuk. Sekarang ini mungkin penyimpanan tersebut berada di ruangan khusus sekitar rumah teh atau di basement rumah. Namun dahulunya, guci tempat menyimpan daun teh yang baru dipanen diletakkan di dalam tanah atau gunung agar tetap terjaga kesejukannya. Kira-kira tangal 7 atau 8 November, musim perayaan minum teh dimulai dan ro digunakan pertama kali sebagai tanda masuknya musim dingin. Pada saat ini, untuk merayakan permulaan awal musim, segel guci yang berisi teh yang dipetik pada musim semi akan dibuka, sehingga teh baru dan segar segera dapat digunakan pertama kali. membuka segel guci ini disebut kuchikiri. Hal ini berlangsung disertai dengan upacara minum teh lengkap dengan sajian makanan kiocha dan usucha yang disebut
chaji.
Pada tahun baru teh tersebut, pagar dan pancuran yang terbuat dari bambu diperbaharui, tikar tatami diganti dan shoji (pintu geser) diganti kertasnya dengan yang baru. Pada saat upacara minum teh pada musim ini (chaji), dilakukan pula kuchikiri dan kairo (membuka perapian/tungku) ketika siang hari dan dilanjutkan dengan santapan (kaiseki), teh kental dan teh encer yang berlangsung sekitar 4 jam. Upacara ro shogo no chaji ini merupakan pelaksanaan upacara minum teh yang paling resmi dan juga sebagai format dasar penyelenggaraan upacara minum teh di Jepang.
Nagori-no-chaji
Pada bulan Oktober, saat akan berakhirnya musim gugur, ketika hanya ada sedikit teh yang tersisa di guci setelah dibuka saat upacara kuchikiri, ada perasaan sedih, seakan-akan terpisah nagori dengan teh yang ada di dalam guci tersebut. Hal ini juga menjadi tanda saat alam mulai berganti musim, yang menandakan melepas yang lama dan menyambut yang baru.
Yobanashi
Upacara ini merupakan upacara minum teh yang diselenggarakan pada malam hari yang juga menyertai upacara kuchikiri dan sebagai perayaaan malam musim dingin. Yobanashi dilakukan dalam ruangan minum teh yang hanya diterangi oleh cahaya lilin.

Upacara Minum Teh di Jepang (2)



http://rumahteh.com/images/noimage.gif
Nilai Spiritual Budaya Minum Teh
Pada upacara minum teh (tea ceremony), air mewakili yin dan api mewakili yang. Air ditampung dengan sebuah guci yang disebut mizusashi. Guci yang terbuat dari batu tersebut berisi air tawar yang melambangkan kemurnian atau kesucian, dan hanya boleh disentuh oleh tuan rumah. Matcha, teh yang akan disajikan, disimpan dalam sebuah tempat berupa keramik kecil yang disebut chaire yang terbungkus dengan sebuah shifuku (kantong sutra) yang diletakkan di depan mizusashi.
Jika teh disajikan saat siang hari, maka sebuah gong akan dibunyikan, sedangkan jika dilangsungkan pada malam hari, maka lonceng yang akan dibunyikan. Biasanya gong atau lonceng tersebut dipukul 5-7 kali, yang berguna untuk memanggil para tamu yang sedang rehat sejenak tadi kembali ke ruangan di rumah teh. Penyucian tangan dan mulut dilakukan kembali seperti saat awal memasuki rumah teh. Para tamu akan mengamati bunga-bunga yang dipasang, ceret dan perapian serta dudukan mereka, mangkuk teh (chawan) dan tempat air (mizusashi). Tuan rumah masuk ke ruangan dengan membawa chawan yang di dalammya terdapat chasen (pengaduk teh yang mirip kuas pendek/kecil), chakin (kain linen berwarna putih) yang digunakan untuk mengeringkan mangkuk dan chasaku (sendok teh yang terbuat dari bambu tipis), yang digunakan untuk membagikan matcha. Semua peralatan tersebut diatur sedemikian rupa di sisi guci air, yang mewakili matahari (melambangkan yang), dan mangkuk yang mewakili bulan (melambangkan yin). Setelah meninggalkan ruang persiapan upacara, tuan rumah kembali dengan membawa kensui (mangkuk untuk air sisa), hishaku (penciduk air terbuat dari bambu) dan futaoki (bambu hijau penutup ceret).
Dengan menggunakan fukusa (kain sutra yang sangat halus), yang mewakili jiwa sang tuan rumah, tuan rumah menyucikan tempat teh dan sendok teh. Keseksamaan yang begitu mendalam terlihat bagaimana sang tuan rumah memeriksa, melipat dan menggunakan fukusa, yang memerlukan konsentrasi dan ketenangan yang luar biasa. Selanjutnya air panas diciduk ke dalam mangkuk teh, pengaduk teh dibilas, mangkuk teh dikosongkan dan diusap dengan menggunakan chakin.
Tuan rumah mengangkat tempat dan sendok teh dan membagikan tiga sendok teh ke dalam masing-masing mangkuk teh yang telah disiapkan untuk para tamu. Air panas diciduk dari ceret dan dimasukkan ke dalam mangkuk teh dengan jumlah secukupnya. Air tambahan dimasukkan sehingga seduhan dapat diaduk menjadi cairan kental seperti sup. Air yang tidak terpakai dikembalikan ke dalam ceret.
Tuan rumah memberikan mangkuk teh tersebut kepada tamu utama yang menerimanya dengan membungkuk sebagai tanda hormat. Mangkuk tersebut diangkat sedikit ke atas dan kemudian diputar-putar dengan tangan. Tamu tersebut selanjutnya meminum teh yang diberikan itu, mengusap bibir mangkuk dan memberikan ke tamu selanjutnya yang akan melakukan hal yang sama seperti tamu utama. Setelah semua tamu menikmati teh dalam mangkuk tersebut, mangkuk dikembalikan kepada tuan rumah dan selanjutnya dibilas. Pengaduk dibilas dan sendok serta tempat teh dibersihkan. Setelah itu para tamu berdiskusi sesuai bahan pembicaraan mereka.
Persiapan Penutupan Upacara Minum Teh
Api di dalam perapian dibesarkan untuk membuat usa cha (teh encer). Teh ini akan digunakan untuk menghilangkan citarasa yang tertinggal di mulut dan sebagai simbol persiapan para tamu untuk meninggalkan "dunia spiritual" teh dan kembali memasuki dunia nyata. Peralatan merokok ditawarkan, namun jarang ada yang akan merokok di ruang penyajian teh tersebut. Hal tersebut tidak lain hanyalah sebagai relaksasi.
Zabuton (bantal kecil) dan teaburi (penghangat tangan) diberikan kepada para tamu. Higashi (manisan kering) juga disajikan sebagai pelengkap. Sebagai penutup, para tamu memberikan penghargaan terhadap teh yang disajikan dan penghormatan terhadap tuan rumah atas pelayanannya. Selanjutnya tuan rumah mengantarkan para tamunya pulang hingga ke depan pintu rumah teh. (www.holymtn.com)

Upacara Minum Teh di Jepang



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXP-nXwGahgEs1rj6GrMbmqZdSsaRR6Ww1GNAT4Wc9uoCXsrvn0qGaucYVBuWd8WdR56uu1x20oOGNdYt7wGK1qnawwG79FvgciQ2HLZ7h45CWMKQMwVMR3dUnQAvVuNuR3HAbwy6Zt6o/s320/chanoyu1.jpg




Upacara minum teh (
茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯 ?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō. Berikut gambar teh dan pengaduknya .
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRf7TlP3b07gZQLu9_gS9Sp60Lm6-k8ZMs1kBnEJ_uQYSC4DT3OsE9SZaTsJskzU4zcArMsB0XSuPIO8eRhFMOSAN3_XwClRU36bbanuIj3ZdtMfMQTdbFeET1G64uWqMaUxhogYRpnGE/s320/tumblr_ku8556qF6p1qan6d1o1_500.jpg

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

Ketika masuk ruangan  Anda harus memberikan hormat dan apresiasi terhadap tuan rumah dan apa yang ada di  ruangan acara.
Setiap gerakan dalam mempersiapkan teh dilakukan oleh penyaji dengan lambat. Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih, dan  teh siap diseduh.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4p5px1t8QrfffSjtLMrzjVJKdPturvAxKoAoXbfX22LI2p96q490QAl4fnzhlTlXa5Doaq9YIYvx4gZx9jRSy3NWsJ_28MRggrVNWGWt4mLEjdT1gs9w8x5hfbuqCZFebxQfEYfw6jjQ/s320/sado_aletler.jpg

Sementara itu, sebelum nimum teh, disajikan sebuah kue yang manis sekali kepada setiap tamu. Cara menyajikan dan mengambilnya pun ada aturan yang penuh sopan santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu, saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilahkan mengambilnya duluan antara tamu satu dan tamu berikutnya. Cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkan di atas kertas, mengelap ujung sumpit, dan mengembalikannya juga menurut aturan tertentu. Tamu kemudian memakan kue manis yang bentuknya sesuai dengan bunga yang kembang pada musim itu. Untuk bulan Juni misalnya, adalah kue berbentuk bunga ajisai. Kue itu terbuat dari tepung ketan ditambah bahan sayuran, ditengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue ini dibuat manis untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.
Setelah makan kue, nyonya rumah mulai menyiduk air yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam mangkuk yang sudah berisi bubuk teh. Dikocok-kocok hingga berbuih, lalu dihidangkan.
Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah memegang mangkuk dengan kedua tangan. Memutarnya dua kali di atas tangan kanan, meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilahkan. Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua tangan, memutar mangkuk dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di luar mangkuk, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi komentar tentang mangkuknya.
Bentuk mangkuk untuk minum teh juga disesuaikan dengan musim. Mangkuk  yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan teh bertahan lebih lama. Mangkuk yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih cepat dingin. Dari pola hiasan di luar mangkuk bisa diketahui zaman pembuatannya.


Ketika upacara berlangsung tidak ada musik pengiring. Hanya bunyi angin menggesek dedaunan di luar, air menetes di pancuran, dan air mendidih di tungku kecil pojok ruangan. Suara alam, ditambah suara percakapan dengan tamu. Biasanya percakapan dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat sajian. Tamu lain semestinya mendengarkan saja percakapan seperti itu, tetapi saat ini terutama untuk tamu asing biasanya semua boleh bertanya.
»»  Readmore...

Thursday, February 14, 2013

Cinta Di Atas Perahu Cadik


Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera
menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil
menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak
kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan
matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat
keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu
karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak
semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah
memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding
karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.
Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan
dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik
penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran
bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah
mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin
kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?
Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air
pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat,
melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset
sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas
sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di
atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.
“Sukab! Tunggu aku!”
Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.
“Cepatlah!” ujar lelaki bernama Sukab itu.
Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel
tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya
itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada
mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping
gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.
“Hayati! Mau ke mana?”
Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat
kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam
laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu
ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor
anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan
sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak
kaki Sukab dan Hayati.
Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam
gubuk.
“Ke mana Hayati, Mak?”
Nenek tua itu menoleh dengan kesal.
“Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa
kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!”
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia
bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya.”
Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.
“Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan
usus Sukab jahanam itu!”
Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar
suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.
“Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari
istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!”
Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di
pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta
membara di atasnya.
Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar
menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di
pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.
Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk
lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa
Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk
suatu rangkaian.
“Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat
mereka tertawa-tawa.”
“Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi
kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia.”
“Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu
menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun
di atasnya.”
Nenek itu memaki.
“Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!”
Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.
“Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah
memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?”
“Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya
tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?”
Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua
itu menggerundal sendirian.
“Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!”
Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah
membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang
karena malaria.
“Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?”
Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh,
mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat,
berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala.
Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua
gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk,
pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk,
dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat
televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk,
tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah
foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang
tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah
bertahun-tahun lewat.
Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang
lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk
rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk
berterbangan masuk karena pintu dibuka.
Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.
“Mana Bapakmu?”
Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan
mengempas dengan ganas.
Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.
“Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!”
Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu
dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda
mesin malaria.
Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika
terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.
“Aku sudah tahu…”
“Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?”
“Tentang mereka…”
Nenek itu mendengus.
“Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota
dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia
sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami
Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang
yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika
melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu
tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya!
Mengerti kamu?”
Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup
berpikir lagi.
“Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki
bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan
pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi
kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!”
Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya
agar bisa berbicara.
“Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi
orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku
pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui
perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan.”
Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk
mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya
bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.
Nenek tua itu terdiam.
Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga
kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa
jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat
Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke
pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali,
mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu
selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi.
Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan
pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.
“Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu
mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita,” kata seseorang.
“Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu
berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,” sahut yang
lain, “apalagi jika di perahunya ada Hayati.”
“Apakah mereka bercinta di atas perahu?”
“Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping
perahu mereka.”
Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga
Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya
tahu pasti apa yang akan mereka alami.
Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya
yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir
basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat
para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa
tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun
setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung
itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.
“Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin
lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang
dimabuk cinta…”
Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu
ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun
begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu
sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab
tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan
besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati
dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab
tampak menancap di punggungnya yang berdarah—tentu ikan besar ini yang
telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk
mesinnya habis.
Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang
lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya
jika terlihat tentu sudah kuning sekali—tetapi mata keduanya
menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang
membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita
tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka
masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.
Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa
mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.
»»  Readmore...