Related Websites

Showing posts with label indonesia. Show all posts
Showing posts with label indonesia. Show all posts

Friday, March 1, 2013

Bahasa Indonesia Diajarkan di 45 Negara

JAKARTA, RABU - Walaupun yang paling efektif merubah citra adalah merubah realitas, namun peran budaya dan bahasa Indonesia dalam diplomasi sangat krusial. Tingginya minat orang asing belajar bahasa dan budaya Indonesia harus disambut positif. Kalau perlu Indonesia menambah Pusat Kebudayaan Indonesia di sejumlah negara, guna membangun saling pengertian dan perbaiki citra .

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Andri Hadi mengemukakan hal itu ketika tampil pada pleno Kongres IX Bahasa Indonesia, yang membahas Bahasa Indonesia sebagai Media Diplomasi dalam Membangun Citra Indonesia di Dunia Internasional, Rabu (29/10) di Jakarta.

"Saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan banyak negara lainnya," katanya. Mengambil contoh Australia, Andri Hadi menjelaskan, di Australia bahasa Indonesia menjadi bahasa populer keempat. Ada sekitar 500 sekolah mengajarkan bahasa Indonesia. Bahkan, anak-anak kelas 6 sekolah dasar ada yang bisa berbahasa Indonesia.

Untuk kepentingan diplomasi dan menambah pengetahuan orang asing tentang bahasa Indonesia, menurut Dirjen Informasi dan Diplomasi Deplu ini, modul-modul bahasa Indonesia di internet perlu diadakan, sehingga orang bisa mengakses di mana saja dan kapan saja.

Di samping itu, keberadaan Pusat Kebudayaan Indonesia di sejumlah negara sangat membantu dan penting. Negara-negara asing gencar membangun pusat kebudayaannya, seperti China yang dalam tempo 2 tahun membangun lebih 100 pusat kebudayaan. Sedangkan bagi Indonesia untuk menambah dan membangun Pusat Kebudayaan terkendala anggaran dan sumber daya manusia yang andal.

Dalam sesi pleno sebelumnya, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono yang berbicara tentang Politik Kebahasaan di Indonesia untuk Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas Kompetitif di atas Fondasi Peradaban Bangsa, mengatakan, tuntutan dunia kerja masa depan memerlukan insan yang cerdas, kreatif/inovatif, dan berdaya saing, baik lokal, nasional, maupun global.

Untuk memenuhi keperluan itu, sangat diperlukan keseimbangan penguasaan bahasa ibu (bahasa daerah), bahasa Indonesia, dan bahasa asing untuk mereka yang berdaya saing global, tandasnya.

Dendy Sugono melukiskan, kebutuhan insan Indonesia cerdas kompetitif itu, untuk lo kal meliputi kecerdasan spiritual, keterampilan, dan bahasa daerah . Untuk kebutuhan nasional meliputi kecerdasan emosional, kecakapan, dan bahasa Indonesia. Sedangkan untuk global dibutuhkan kecerdasan intelektual, keunggulan, dan bahasa asing.

Bahasa SMS

Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga M Budi Setiawan, narasumber pleno yang membahas Pemantapan Kemampuan Berbahasa Generasi Muda dalam Membangun Citra Bangsa mengatakan kalangan generasi muda telah melanggar sumpahnya, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 80 tahun lalu.

"Dalam sumpahnya menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, namun dalam keseharian generasi muda menggunakan bahasa yang sulit dimengeri, kecuali oleh komunitas tertentu, seperti bahasa gaul, bahasa prokem, atau bahasa tulis melalui pesan singkat (sms) di telepon seluler, yang bisa dikategorikan sebagai bahasa sms," katanya.

Menurut Budi, munculnya bahasa gaul, bahasa prokem atau bahasa sms, tak perlu dikhawatirkan, karena hanya digunakan untuk komunikasi pada komunitas tertentu. Suatu saat akan hilang. Namun demikian, tanggung jawab kita bagaimana memantapkan dan memaksimalkan peran bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan di Indonesia, untuk menghasilkan lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi dan mandiri. 

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/21231449

»»  Readmore...

Thursday, February 14, 2013

Cinta Di Atas Perahu Cadik


Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera
menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil
menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak
kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan
matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat
keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu
karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak
semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah
memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding
karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.
Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan
dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik
penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran
bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah
mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin
kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?
Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air
pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat,
melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset
sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas
sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di
atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.
“Sukab! Tunggu aku!”
Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.
“Cepatlah!” ujar lelaki bernama Sukab itu.
Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel
tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya
itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada
mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping
gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.
“Hayati! Mau ke mana?”
Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat
kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam
laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu
ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor
anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan
sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak
kaki Sukab dan Hayati.
Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam
gubuk.
“Ke mana Hayati, Mak?”
Nenek tua itu menoleh dengan kesal.
“Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa
kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!”
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia
bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya.”
Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.
“Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan
usus Sukab jahanam itu!”
Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar
suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.
“Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari
istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!”
Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di
pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta
membara di atasnya.
Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar
menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di
pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.
Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk
lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa
Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk
suatu rangkaian.
“Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat
mereka tertawa-tawa.”
“Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi
kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia.”
“Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu
menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun
di atasnya.”
Nenek itu memaki.
“Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!”
Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.
“Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah
memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?”
“Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya
tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?”
Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua
itu menggerundal sendirian.
“Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!”
Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah
membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang
karena malaria.
“Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?”
Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh,
mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat,
berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala.
Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua
gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk,
pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk,
dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat
televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk,
tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah
foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang
tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah
bertahun-tahun lewat.
Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang
lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk
rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk
berterbangan masuk karena pintu dibuka.
Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.
“Mana Bapakmu?”
Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan
mengempas dengan ganas.
Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.
“Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!”
Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu
dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda
mesin malaria.
Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika
terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.
“Aku sudah tahu…”
“Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?”
“Tentang mereka…”
Nenek itu mendengus.
“Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota
dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia
sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami
Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang
yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika
melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu
tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya!
Mengerti kamu?”
Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup
berpikir lagi.
“Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki
bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan
pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi
kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!”
Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya
agar bisa berbicara.
“Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi
orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku
pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui
perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan.”
Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk
mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya
bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.
Nenek tua itu terdiam.
Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga
kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa
jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat
Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke
pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali,
mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu
selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi.
Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan
pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.
“Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu
mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita,” kata seseorang.
“Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu
berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,” sahut yang
lain, “apalagi jika di perahunya ada Hayati.”
“Apakah mereka bercinta di atas perahu?”
“Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping
perahu mereka.”
Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga
Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya
tahu pasti apa yang akan mereka alami.
Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya
yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir
basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat
para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa
tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun
setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung
itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.
“Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin
lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang
dimabuk cinta…”
Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu
ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun
begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu
sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab
tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan
besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati
dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab
tampak menancap di punggungnya yang berdarah—tentu ikan besar ini yang
telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk
mesinnya habis.
Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang
lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya
jika terlihat tentu sudah kuning sekali—tetapi mata keduanya
menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang
membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita
tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka
masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.
Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa
mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.
»»  Readmore...

Fenomena Tawuran antar Pelajar


Tawuran antar pelajar 1
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan  yang tidak terpuji seperti itu.
Tawuran antar pelajar 2
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja  yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam. Dengan rasa kesetiakawanan  yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan  yang disebabkan oleh siswa sekolah  yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa  yang tinggi dan pemahaman agama  yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat. Akhirnya stress  yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran. Dari aspek fisik, tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan  yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah  yang terkena lemparan batu. Sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa  yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah kita tahu akar permasalahannya , sekarang  yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu, orang tua, guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah. Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu dirubah. Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi keteladanan. Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses pendidikan. Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga bisa menjadi tuntunan untuk anak. Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja memang lumayan sulit bagi orang tua. Karena internet pun dapat diakses secara bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi. Filter yang baik untuk anak adalah agama, dengan agama si anak bisa membentengi dirinya sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun. Dan pendidikan anak tidak seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib  yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling ) harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa  yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah  yang ramah dan penuh kasih sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik. Yang keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas  yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler ini, sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga. Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksi hokum. Berilah efek jerah pada siswa  yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa  yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial  yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya.
Dalam bukunya  yang berjudul “Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial  yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa terpelihara apabila terdapat  adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).

1.     Sosialisasi maksudnya  adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada  adat istiadat ( norma ) suatu kelompok  yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun  yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok  yang bersangkutan.
2.     Pengawasan sosial  adalah, “ proses  yang direncanakan atau tidak direncanakan  yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Dari berbagai kasus pelajar tersebut tentunya sangat mengundang keprihatinan dan harus segera mencari solusi yang  baik. Beberapa solusi tersebut antara lain adalah :
1.     Mempertebal keimanan dan ketaqwaan dikalangan generasi muda
Benteng yang sangat kokoh dalam menjawab tantangan globalisasi agar kita tidak terjerumus dalam demoralisasi adalah memperkokoh/mempertebal keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah, apabila kita selalu memegang teguh semua ajaran agama kita (Islam) maka kita dengan sendirinya akan bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan atau mana yang tidak boleh dilakukan. Singkat kata dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah maka kita akan selamat dunia dan akhirat, Amin.
2.     Memanfaatkan media sosialisasi keluarga, sekolah.
Menurut ilmu sosiologi, terjadinya perilaku menyimpang itu disebabkan oleh adanya sosialisasi yang tidak sempurna dan peran media sosialiasi yang tidak baik. Untuk menyelamatkan generasi muda dari demoralisasi maka semua media sosialisasi harus saling mendukung antara satu dengan yang lain agar seorang anak /remaja tertanam nilai dan norma yang sesuai dengan harapan masyarakat.
a.     Keluarga
Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tua dan saudara-saudara. sehingga bisa dikatakan keluarga merupakan media yang pertama dalam penanaman nilai dan norma di dalam diri seorang anak dan akan membentuk kepribadian dan moralitasnya, apabila di dalam keluarga tidak mampu berperan dengan baik dalam menanamkan nilai dan norma, maka si anak akan menjadi kurang baik dalam kepribadian maupun moralnya. Didalam menyikapi masalah demoralisasi generasi muda maka peran keluarga adalah sebagai pilar pertama untuk melakukan perlawanan menuju keperubahan yang baik. Orang tua harus memberi perhatian yang ekstra kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam demoralisasi, tetapi tidak dengan jalan mengekang dan memaksa kehendak orang tua kepada anak, orang tua harus memberi perhatian dengan penuh kasih sayang (afeksi) dengan jalan selalu membangun komunikasi antara orang tua dan anak, sehingga anak tidak merasa terabaikan dan lebih dihargai.orang tua juga harus mampu memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya baik dalam perilaku, ucapan dan perbuatan. Harapannya agar anak bisa menghormati orang yang lebih tua yang mungkin sekarang sudah mulai budar misalnya berbicara sopan dengan orang tua, berjabat tangan pada guru sebagai rasa hormat dan lain sebagainya.jadikan keluarga itu yang harmonis maka anak akan terhindar dari demoralisasi, ada istilah “rumahku adalah istanaku (surgaku)”
b.     Sekolah
Selain keluarga maka sekolah adalah media yang kedua dalam mengatasi masalah demoralisasi yang telah melanda generasi muda. Sekolahan harus mampu mendidik kecerdasan,  juga membina moral dan akhlak siswanya. Tetapi sekarang banyak sekolah yang terjebak hanya memprioritaskan agar  anak didiknya mampu mendapatkan nilai yang bagus dalam  mengerjakan tugas-tugas teoritis tanpa memperhatikan aplikasinya/prakteknya. Jika merujuk pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama taxonomy of educational objectives, keberhasilan pendidikan secara kuantitatif mencakup tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pernah sholat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik, ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga pendidikan moral kadang kala diabaikan dengan alasan ini dan itu, seharusnya sekolah merupakan mitra keluarga dalam pendidikan moral anak. Tetapi kadang kala banyak keluarga yang memikulkan tanggung jawab 100% kepada sekolah dalam pendidikan moral ini. Solusi yang terbaik adalah sekolah dan keluarga harus bergantengan tangan bersama-sama memberi pendidikan moral agar tidak terjadi kemerosotan moral.
3.     Aktif di dalam kegiatan-kegiatan positif
Untuk menghindari demoralisasi, yang perlu dilakukan oleh generasi muda adalah dengan aktif di berbagai kegiatan-kegiatan yang positif, karena dengan demikian maka generasi muda akan mempunyai aktifitas yang akan menjauhkan dari kejenuhan, kesepian, dan terhindar dari godaan setan untuk mengisi hidup dengan kemaksiatan. Generasi muda akan selalu terlatih untuk selalu berfikir positif.
»»  Readmore...

Tugas Antroppologi Reog Ponorogo


A. Definisi
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.


B. Sejarah
Reog Ponorogo Sebagai Budaya Bangsa
Sebenarnya Indonesia kaya akan keaneragaman kebudayaan namun kurangnya perhatian oleh masyarakat kalangan atas atau pemerintah, budaya yang ada di in idonesia sedikit demi sedsikit akan hilang karena akan tersingkir oleh budaya asing yang masuk keindonesia. Bangsa indonesia harus benara-benar memfilter terhadap kebudayaan yang masuk ke indonesia yaitu budaya asing yang menyalahi adeologi pancasila. Dengan cara menilai, mempertimbangkan, dan memutuskan layak atau tidaknya budaya tersebut masuk ke indonesia.
Dari keanekaragaman kebudayaan di Indonesia, salah satunya yaitu Reog Ponorogo. Reog adalah salah satu budaya bangsa Indonesia yang masih eksis dan terus di kembangkan agar budaya tersebut bisa dilestarikan dan sebagai warisan yang tidaj ternilai bagi anak cucu. Ada satu kejadian yang akan mengecap bahwa reog adalah milik negara Malaysia, namun Indonesia tetap mempertahankannya.Dengan kejadian tersebut hendaklah kita sebagai pemuda penerus bangsa harus melestarikan reog ponorogo. apalagi bagi anda anggota kotareyog.com harus lebih siap sedia bila sewaktu-waktu kebudayaan kita di rebut bangsa lain. Karena budaya adalah kekayaan bangsa. reog ponorogonoleh pemkab ponorogo di lestarikan dengan mengadakan acara rutin tahunan yaitu Grebeg Suro, yang biasanya acara tyersebut di adakan pada malam satu suro. pemkab ponorogo menggelar acara ini dalam taraf atau tingkatan nasional dari daerah manapun di indonesia bisa ikut partisipasi di dalamnya. beberapa tujuan yang di capai adalah :
1. Hiburan untuk masyarakat
2. Melestarikan adat daerah dan budaya bangsa
3. Sebagai upaya pelestarian budaya bangsa pada para penerus bangsa.
Pertunjukan reog di Ponorogo tahun 1920. Selain reog, terdapat pula penari kuda kepang dan bujangganong.
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.


C. Pementasan Seni Reog
Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.


D. Kontroversi
Foto tari Barongan di situs resmi Malaysia, yang memicu kontroversi.
Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia", dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.
Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut.




Komentar
Menurut saya pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu mempermasalahkan itu, karena kesenian reog yang ada di Malaysia itu adalah rakyat Indonesia yang membawanya dan Indonesia juga tidak bisa berbohong bahwa salah satu budayanya juga berasal dari luar Indonesia, contohnya : Wayang Kulit yang dibawa dari India. Jika Indonesia tidak ingin kehilangan salah satu budayanya (Reog Ponorogo) maka pemerintah harus lebih memperhatikan budaya tersebut agar budaya tersebut tidak hilang dari Indonesia.
»»  Readmore...

Ciri-Ciri Masyarakat Madani


B. Ciri-ciri Masyarakat Madani
     1. Masyarakat
Istilah madani secara umum dapat diartikan sebagai adab atau beradab. Masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani dan memaknai kehidupannya. Masyarakat madani disebut pula dengan civil society.
                Civil society merupakan wilayah politik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa (bukan oleh pejabat pemerintah).
                Adapun pendapat beberapa ahli mengenai masyarakat madani antara lain sebagai berikut.
a.       Riswanda Imawan
Masyarakat madani merupakan konsep tentang keberadaan suatu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri melalui penciptaan aktivitas mandiri, dalam satu ruang gerak yang tidak memungkinkan negara melakukan intervensi.
b.      Zbigniew Rau
Masyarakat madani adalah ruang dalam masyarakat yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, yang diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualis, pasar (market) dan pluralisme.
c.       Anwar Ibrahim
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.
                Larry Diamond berpendapat bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.
                Menurut Larry Diamond yang dapat disebut sebagai civil society adalah sebagai berikut.
1.       Perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif.
2.       Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, dan lain sebagainya.
3.       Organisasi-organisasi yang bergerak dibidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-ide, berita, dan informasi publik.
4.       Gerakan-gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi, dan sebagainya.
     2. Demokrasi Menuju Masyarakat Madani (Civil Society)
                Ada keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi. Masyarakat madani dapat berkembang dengan baik dalam negara demokratis. Demikian pula sebaliknya proses demokratisasi bisa terwujud hanya jika masyarakat madaninya berkembang baik.
                Masyarakat madani mencerminkan kehidupan masyarakat yang mandiri, cerdas, beradab, sejahtera, memiliki kemampuan yang tinggi, serta mampu bersikap kritis/peka terhadap kehidupan sosial dan berpatisipasi dalam menghadapi berbagai persoalan sosial. Terwujudnya masyarakat madani tergantung pada komponen pokok, yaitu masyarakat dan pemerintah. Kedua komponen tersebut harus saling mendukung.
                Wujud nyata masyarakat madani dapat terlihat misalnya dengan adanya budaya gotong royong dikalangan masyarakat Indonesia. Gotong royong ini bisa mendidik masyarakat untuk aktif dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan bersama.
                Hal ini yang juga telah terlihat pada masyarakat adalah sikap toleransi dan kebiasaan musyawarah atau diskusi dalam setiap pengambilan keputusan. Tidak sedikit masyarakat yang telah berani menyampaikan pendapat kehendak-kehendak mereka. Di tengah keberagaman etnis, agama, bahasa maupun adat istiadat, masyarakat telah mampu mengembangkan budaya toleransi dan saling menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.
                Dibutuhkan beberapa syarat untuk mewujudkan masyarakat madani yaitu sebagai berikut.
a.       Keyakinan
b.      Kepercayaan
c.       Persamaan tujuan dan misi
d.      Satu hati dan saling tergantung
e.      Pemahaman yang sama
     3. Ciri-ciri Masyarakat Madani
                Prof. Dr. A.S. Hikam mengemukakan pendapatnya mengenai ciri-ciri pokok masyarakat madani sebagai berikut.
a.       Kesukarelaan
Keanggotaan masyarakat madani bersifat sukarela, tanpa paksaan. Jadi, kesediaan menjadi anggota karena pemahaman serta kesadaran akan pentingnya terwujud masyarakat madani demi tercapainya tujuan bersama.
b.      Keswasembadaan
Keanggotaan masyarakat madani dapat hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain ataupun negara dan lembaga-lembaga lainnya. Para anggota mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk berdiri sendiri dan membantu sesama lain yang kekurangan.
c.       Kemandirian yang Tinggi terhadap Negara
Para anggota masyarakat madani adalah manusia-manusia yang percaya diri, sehingga tidak tergantung kepada perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka negara adalah kesepakatan bersama, sehingga tanggungjawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggungjawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.
d.      Keterkaitan pada Nilai-Nilai Hukum yang Disepakati Bersama
Hal ini berarti bahwa suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.
Selain ciri-ciri tersebut terdapat karakteristik masyarakat madani. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Free Public Sphere
Yaitu adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Menurut Arendt dan Habermas ruang publik secara teoritis diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
2.      Demokratis
Merupakan satu identitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berperilaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, mupun agama.
3.      Toleran
Toleran merupakan sikap yang saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain.

4.      Pluralisme
Menurut Nurcholis Madjid konsep pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
5.      Keadilan Sosial
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehingga dengan adanya keadilan memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan suatu kelompok masyarakat.
»»  Readmore...

Tuesday, February 12, 2013

Ulos Kain Tenun Khas Batak




Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batakhttp://en.wikipedia.org/wiki/Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.
Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan gorden.
Ulos juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.
Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang.



Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.

Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.


Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah ulos bermula.


Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.


Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.

Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.

Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.

Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:

1. Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.

2. Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.

3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.

Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.

Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:

Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.

Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.

Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.

Berbicara soal harga, ulos dengan motif dan proses pembuatan sederhana relatif murah. Ulos kelas ini bisa dibeli dengan harga berkisar antara Rp. 6000 sampai Rp.250.000 bahkan lebih. Sementara untuk ulos kelas atas dengan kualitas bahan yang baik dan proses pembuatan yang lebih rumit, bisa diperoleh dengan harga berkisar antara ratusan ribu rupiah hingga jutaan. Misalnya songket khas Batak yang digunakan pengantin pria pada upacara pernikahan adat Batak, dibandrol Rp. 7,5 juta.
»»  Readmore...