Related Websites

Sunday, February 17, 2013

Upacara Minum Teh (Jepang)




Chashitsu (ruangan upacara minum teh)
Upacara minum teh (茶道, sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Sejarah
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching () atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.
Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.
Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.
Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.
Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.
Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.
Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.
Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.
Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.
UPACARA minum teh Jepang atau chanoyu adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chat atau cha no yu.

Sementara upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate. Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu.

Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, dan agama.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa basi, etiket meminum teh, dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchad, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchad.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktikkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh. Tea ceremony di Jepang dan di China sangat berbeda sekali.

Cara minum teh di Jepang sudah ditentukan sejak beberapa ratus tahun dan tidak pernah diubah atau diperbaiki. Teh yang dipakai juga sangat berlainan dengan teh yang dipergunakan di China dan yang diminum atau dimakan juga sangat berlainan.

Teh jepang yang dipergunakan untuk upacara minum teh adalah teh tipe sinensis yang begitu dipetik langsung dikeringkan dan digiling jadi bubuk dan harus disimpan di dalam vacuum jika ingin tahan lama. Kue yang disuguhkan di samping teh saat upacara minum teh disebut Chakaiseki.

Jenis Upacara Minum Teh di Jepang

http://rumahteh.com/images/noimage.gif
Sepanjang tahun terdapat beberapa jenis upacara minum teh (tea ceremony) di Jepang dan memiliki nama tersendiri menurut waktu dan musim saat penyelenggaraannya. Upacara minum teh pertama yang dilaksanakan adalah pada bulan Januari yang disebut Hatsugama, yang artinya adalah "teko pertama". Inilah satu-satunya kesempatan untuk seorang guru (yang mengajarkan mengenai tatacara minum teh di Jepang) mempersiapkan teh dan jamuan makan untuk murid-muridnya. Biasanya sang guru hanya akan memberikan panduan kepada murid-muridnya, makanya saat tersebut merupakan peristiwa yang unik bagi murid dan sang guru sebagai tuan rumah.
Akatsuki-no-chaji
Upacara minum teh ini diselenggarakan pada saat pagi-pagi sekali di musim dingin agar dapat menikmati fajar di ruang minum teh. Hal ini merupakan pengalaman yang luar biasa bagi yang mengikutinya karena dapat menikmati teh sambil menyambut datangnya sinar matahari masuk ke dalam ruangan melalui jendela kecil, sehingga ruangan lambat laun akan terang dan peralatan akan tampak karena sebelumnya hanya menggunakan penerangan dari cahaya lilin.
Yuuzari-no-chaji
Uacara minum teh ini dilakukan pada bulan-bulan yang lebih hangat daripada musim dingin.
Asa-cha
Upacara minum teh ini dilakukan pada saat pagi yang sejuk di musim panas. Upacara minum teh, atau sekedar keiko (latihan bagi murid untuk menyajikan teh) di musim panas begitu sulit dijalani, sebab arang di anglo dan teh yang disajikan benar-benar tidak dapat membantu menghindari rasa panas di Jepang saat musim itu berlangsung.
Shoburo
Upacara shoburo merupakan perayaan tahun baru teh dengan menggunakan pertama kali alat furo (anglo/tungku portabel). Kalau dalam kalender Masehi, perayaan ini diselenggarakan sekitar bulan Mei. Orang Jepang sangat suka melakukan segala sesuatunya dengan perayaan resmi melalui kata sambutan (speech) maupun isyarat melalui gerak tubuh (gestures), sehingga ada pengaruhnya juga terhadap upacara minum teh.
Shougo-no-chaji
Upacara ini merupakan penyelenggaraan minum teh yang dilakukan saat tepat siang hari (tengah hari).
Kuchikiri-no-chaji
Daun teh yang dipanen pada saat musim semi disimpan di dalam guci dan diletakkan di tempat yang sejuk. Sekarang ini mungkin penyimpanan tersebut berada di ruangan khusus sekitar rumah teh atau di basement rumah. Namun dahulunya, guci tempat menyimpan daun teh yang baru dipanen diletakkan di dalam tanah atau gunung agar tetap terjaga kesejukannya. Kira-kira tangal 7 atau 8 November, musim perayaan minum teh dimulai dan ro digunakan pertama kali sebagai tanda masuknya musim dingin. Pada saat ini, untuk merayakan permulaan awal musim, segel guci yang berisi teh yang dipetik pada musim semi akan dibuka, sehingga teh baru dan segar segera dapat digunakan pertama kali. membuka segel guci ini disebut kuchikiri. Hal ini berlangsung disertai dengan upacara minum teh lengkap dengan sajian makanan kiocha dan usucha yang disebut
chaji.
Pada tahun baru teh tersebut, pagar dan pancuran yang terbuat dari bambu diperbaharui, tikar tatami diganti dan shoji (pintu geser) diganti kertasnya dengan yang baru. Pada saat upacara minum teh pada musim ini (chaji), dilakukan pula kuchikiri dan kairo (membuka perapian/tungku) ketika siang hari dan dilanjutkan dengan santapan (kaiseki), teh kental dan teh encer yang berlangsung sekitar 4 jam. Upacara ro shogo no chaji ini merupakan pelaksanaan upacara minum teh yang paling resmi dan juga sebagai format dasar penyelenggaraan upacara minum teh di Jepang.
Nagori-no-chaji
Pada bulan Oktober, saat akan berakhirnya musim gugur, ketika hanya ada sedikit teh yang tersisa di guci setelah dibuka saat upacara kuchikiri, ada perasaan sedih, seakan-akan terpisah nagori dengan teh yang ada di dalam guci tersebut. Hal ini juga menjadi tanda saat alam mulai berganti musim, yang menandakan melepas yang lama dan menyambut yang baru.
Yobanashi
Upacara ini merupakan upacara minum teh yang diselenggarakan pada malam hari yang juga menyertai upacara kuchikiri dan sebagai perayaaan malam musim dingin. Yobanashi dilakukan dalam ruangan minum teh yang hanya diterangi oleh cahaya lilin.

Upacara Minum Teh di Jepang (2)



http://rumahteh.com/images/noimage.gif
Nilai Spiritual Budaya Minum Teh
Pada upacara minum teh (tea ceremony), air mewakili yin dan api mewakili yang. Air ditampung dengan sebuah guci yang disebut mizusashi. Guci yang terbuat dari batu tersebut berisi air tawar yang melambangkan kemurnian atau kesucian, dan hanya boleh disentuh oleh tuan rumah. Matcha, teh yang akan disajikan, disimpan dalam sebuah tempat berupa keramik kecil yang disebut chaire yang terbungkus dengan sebuah shifuku (kantong sutra) yang diletakkan di depan mizusashi.
Jika teh disajikan saat siang hari, maka sebuah gong akan dibunyikan, sedangkan jika dilangsungkan pada malam hari, maka lonceng yang akan dibunyikan. Biasanya gong atau lonceng tersebut dipukul 5-7 kali, yang berguna untuk memanggil para tamu yang sedang rehat sejenak tadi kembali ke ruangan di rumah teh. Penyucian tangan dan mulut dilakukan kembali seperti saat awal memasuki rumah teh. Para tamu akan mengamati bunga-bunga yang dipasang, ceret dan perapian serta dudukan mereka, mangkuk teh (chawan) dan tempat air (mizusashi). Tuan rumah masuk ke ruangan dengan membawa chawan yang di dalammya terdapat chasen (pengaduk teh yang mirip kuas pendek/kecil), chakin (kain linen berwarna putih) yang digunakan untuk mengeringkan mangkuk dan chasaku (sendok teh yang terbuat dari bambu tipis), yang digunakan untuk membagikan matcha. Semua peralatan tersebut diatur sedemikian rupa di sisi guci air, yang mewakili matahari (melambangkan yang), dan mangkuk yang mewakili bulan (melambangkan yin). Setelah meninggalkan ruang persiapan upacara, tuan rumah kembali dengan membawa kensui (mangkuk untuk air sisa), hishaku (penciduk air terbuat dari bambu) dan futaoki (bambu hijau penutup ceret).
Dengan menggunakan fukusa (kain sutra yang sangat halus), yang mewakili jiwa sang tuan rumah, tuan rumah menyucikan tempat teh dan sendok teh. Keseksamaan yang begitu mendalam terlihat bagaimana sang tuan rumah memeriksa, melipat dan menggunakan fukusa, yang memerlukan konsentrasi dan ketenangan yang luar biasa. Selanjutnya air panas diciduk ke dalam mangkuk teh, pengaduk teh dibilas, mangkuk teh dikosongkan dan diusap dengan menggunakan chakin.
Tuan rumah mengangkat tempat dan sendok teh dan membagikan tiga sendok teh ke dalam masing-masing mangkuk teh yang telah disiapkan untuk para tamu. Air panas diciduk dari ceret dan dimasukkan ke dalam mangkuk teh dengan jumlah secukupnya. Air tambahan dimasukkan sehingga seduhan dapat diaduk menjadi cairan kental seperti sup. Air yang tidak terpakai dikembalikan ke dalam ceret.
Tuan rumah memberikan mangkuk teh tersebut kepada tamu utama yang menerimanya dengan membungkuk sebagai tanda hormat. Mangkuk tersebut diangkat sedikit ke atas dan kemudian diputar-putar dengan tangan. Tamu tersebut selanjutnya meminum teh yang diberikan itu, mengusap bibir mangkuk dan memberikan ke tamu selanjutnya yang akan melakukan hal yang sama seperti tamu utama. Setelah semua tamu menikmati teh dalam mangkuk tersebut, mangkuk dikembalikan kepada tuan rumah dan selanjutnya dibilas. Pengaduk dibilas dan sendok serta tempat teh dibersihkan. Setelah itu para tamu berdiskusi sesuai bahan pembicaraan mereka.
Persiapan Penutupan Upacara Minum Teh
Api di dalam perapian dibesarkan untuk membuat usa cha (teh encer). Teh ini akan digunakan untuk menghilangkan citarasa yang tertinggal di mulut dan sebagai simbol persiapan para tamu untuk meninggalkan "dunia spiritual" teh dan kembali memasuki dunia nyata. Peralatan merokok ditawarkan, namun jarang ada yang akan merokok di ruang penyajian teh tersebut. Hal tersebut tidak lain hanyalah sebagai relaksasi.
Zabuton (bantal kecil) dan teaburi (penghangat tangan) diberikan kepada para tamu. Higashi (manisan kering) juga disajikan sebagai pelengkap. Sebagai penutup, para tamu memberikan penghargaan terhadap teh yang disajikan dan penghormatan terhadap tuan rumah atas pelayanannya. Selanjutnya tuan rumah mengantarkan para tamunya pulang hingga ke depan pintu rumah teh. (www.holymtn.com)

Upacara Minum Teh di Jepang



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXP-nXwGahgEs1rj6GrMbmqZdSsaRR6Ww1GNAT4Wc9uoCXsrvn0qGaucYVBuWd8WdR56uu1x20oOGNdYt7wGK1qnawwG79FvgciQ2HLZ7h45CWMKQMwVMR3dUnQAvVuNuR3HAbwy6Zt6o/s320/chanoyu1.jpg




Upacara minum teh (
茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯 ?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō. Berikut gambar teh dan pengaduknya .
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRf7TlP3b07gZQLu9_gS9Sp60Lm6-k8ZMs1kBnEJ_uQYSC4DT3OsE9SZaTsJskzU4zcArMsB0XSuPIO8eRhFMOSAN3_XwClRU36bbanuIj3ZdtMfMQTdbFeET1G64uWqMaUxhogYRpnGE/s320/tumblr_ku8556qF6p1qan6d1o1_500.jpg

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

Ketika masuk ruangan  Anda harus memberikan hormat dan apresiasi terhadap tuan rumah dan apa yang ada di  ruangan acara.
Setiap gerakan dalam mempersiapkan teh dilakukan oleh penyaji dengan lambat. Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih, dan  teh siap diseduh.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4p5px1t8QrfffSjtLMrzjVJKdPturvAxKoAoXbfX22LI2p96q490QAl4fnzhlTlXa5Doaq9YIYvx4gZx9jRSy3NWsJ_28MRggrVNWGWt4mLEjdT1gs9w8x5hfbuqCZFebxQfEYfw6jjQ/s320/sado_aletler.jpg

Sementara itu, sebelum nimum teh, disajikan sebuah kue yang manis sekali kepada setiap tamu. Cara menyajikan dan mengambilnya pun ada aturan yang penuh sopan santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu, saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilahkan mengambilnya duluan antara tamu satu dan tamu berikutnya. Cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkan di atas kertas, mengelap ujung sumpit, dan mengembalikannya juga menurut aturan tertentu. Tamu kemudian memakan kue manis yang bentuknya sesuai dengan bunga yang kembang pada musim itu. Untuk bulan Juni misalnya, adalah kue berbentuk bunga ajisai. Kue itu terbuat dari tepung ketan ditambah bahan sayuran, ditengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue ini dibuat manis untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.
Setelah makan kue, nyonya rumah mulai menyiduk air yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam mangkuk yang sudah berisi bubuk teh. Dikocok-kocok hingga berbuih, lalu dihidangkan.
Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah memegang mangkuk dengan kedua tangan. Memutarnya dua kali di atas tangan kanan, meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilahkan. Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua tangan, memutar mangkuk dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di luar mangkuk, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi komentar tentang mangkuknya.
Bentuk mangkuk untuk minum teh juga disesuaikan dengan musim. Mangkuk  yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan teh bertahan lebih lama. Mangkuk yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih cepat dingin. Dari pola hiasan di luar mangkuk bisa diketahui zaman pembuatannya.


Ketika upacara berlangsung tidak ada musik pengiring. Hanya bunyi angin menggesek dedaunan di luar, air menetes di pancuran, dan air mendidih di tungku kecil pojok ruangan. Suara alam, ditambah suara percakapan dengan tamu. Biasanya percakapan dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat sajian. Tamu lain semestinya mendengarkan saja percakapan seperti itu, tetapi saat ini terutama untuk tamu asing biasanya semua boleh bertanya.

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar untuk entri artikel di blog