Related Websites

Thursday, February 14, 2013

Fenomena Tawuran antar Pelajar


Tawuran antar pelajar 1
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan  yang tidak terpuji seperti itu.
Tawuran antar pelajar 2
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja  yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam. Dengan rasa kesetiakawanan  yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan  yang disebabkan oleh siswa sekolah  yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa  yang tinggi dan pemahaman agama  yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat. Akhirnya stress  yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran. Dari aspek fisik, tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan  yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah  yang terkena lemparan batu. Sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa  yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah kita tahu akar permasalahannya , sekarang  yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu, orang tua, guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah. Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu dirubah. Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi keteladanan. Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses pendidikan. Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga bisa menjadi tuntunan untuk anak. Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja memang lumayan sulit bagi orang tua. Karena internet pun dapat diakses secara bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi. Filter yang baik untuk anak adalah agama, dengan agama si anak bisa membentengi dirinya sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun. Dan pendidikan anak tidak seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib  yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling ) harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa  yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah  yang ramah dan penuh kasih sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik. Yang keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas  yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler ini, sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga. Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksi hokum. Berilah efek jerah pada siswa  yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa  yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial  yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya.
Dalam bukunya  yang berjudul “Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial  yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa terpelihara apabila terdapat  adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).

1.     Sosialisasi maksudnya  adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada  adat istiadat ( norma ) suatu kelompok  yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun  yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok  yang bersangkutan.
2.     Pengawasan sosial  adalah, “ proses  yang direncanakan atau tidak direncanakan  yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Dari berbagai kasus pelajar tersebut tentunya sangat mengundang keprihatinan dan harus segera mencari solusi yang  baik. Beberapa solusi tersebut antara lain adalah :
1.     Mempertebal keimanan dan ketaqwaan dikalangan generasi muda
Benteng yang sangat kokoh dalam menjawab tantangan globalisasi agar kita tidak terjerumus dalam demoralisasi adalah memperkokoh/mempertebal keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah, apabila kita selalu memegang teguh semua ajaran agama kita (Islam) maka kita dengan sendirinya akan bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan atau mana yang tidak boleh dilakukan. Singkat kata dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah maka kita akan selamat dunia dan akhirat, Amin.
2.     Memanfaatkan media sosialisasi keluarga, sekolah.
Menurut ilmu sosiologi, terjadinya perilaku menyimpang itu disebabkan oleh adanya sosialisasi yang tidak sempurna dan peran media sosialiasi yang tidak baik. Untuk menyelamatkan generasi muda dari demoralisasi maka semua media sosialisasi harus saling mendukung antara satu dengan yang lain agar seorang anak /remaja tertanam nilai dan norma yang sesuai dengan harapan masyarakat.
a.     Keluarga
Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tua dan saudara-saudara. sehingga bisa dikatakan keluarga merupakan media yang pertama dalam penanaman nilai dan norma di dalam diri seorang anak dan akan membentuk kepribadian dan moralitasnya, apabila di dalam keluarga tidak mampu berperan dengan baik dalam menanamkan nilai dan norma, maka si anak akan menjadi kurang baik dalam kepribadian maupun moralnya. Didalam menyikapi masalah demoralisasi generasi muda maka peran keluarga adalah sebagai pilar pertama untuk melakukan perlawanan menuju keperubahan yang baik. Orang tua harus memberi perhatian yang ekstra kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam demoralisasi, tetapi tidak dengan jalan mengekang dan memaksa kehendak orang tua kepada anak, orang tua harus memberi perhatian dengan penuh kasih sayang (afeksi) dengan jalan selalu membangun komunikasi antara orang tua dan anak, sehingga anak tidak merasa terabaikan dan lebih dihargai.orang tua juga harus mampu memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya baik dalam perilaku, ucapan dan perbuatan. Harapannya agar anak bisa menghormati orang yang lebih tua yang mungkin sekarang sudah mulai budar misalnya berbicara sopan dengan orang tua, berjabat tangan pada guru sebagai rasa hormat dan lain sebagainya.jadikan keluarga itu yang harmonis maka anak akan terhindar dari demoralisasi, ada istilah “rumahku adalah istanaku (surgaku)”
b.     Sekolah
Selain keluarga maka sekolah adalah media yang kedua dalam mengatasi masalah demoralisasi yang telah melanda generasi muda. Sekolahan harus mampu mendidik kecerdasan,  juga membina moral dan akhlak siswanya. Tetapi sekarang banyak sekolah yang terjebak hanya memprioritaskan agar  anak didiknya mampu mendapatkan nilai yang bagus dalam  mengerjakan tugas-tugas teoritis tanpa memperhatikan aplikasinya/prakteknya. Jika merujuk pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama taxonomy of educational objectives, keberhasilan pendidikan secara kuantitatif mencakup tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pernah sholat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik, ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga pendidikan moral kadang kala diabaikan dengan alasan ini dan itu, seharusnya sekolah merupakan mitra keluarga dalam pendidikan moral anak. Tetapi kadang kala banyak keluarga yang memikulkan tanggung jawab 100% kepada sekolah dalam pendidikan moral ini. Solusi yang terbaik adalah sekolah dan keluarga harus bergantengan tangan bersama-sama memberi pendidikan moral agar tidak terjadi kemerosotan moral.
3.     Aktif di dalam kegiatan-kegiatan positif
Untuk menghindari demoralisasi, yang perlu dilakukan oleh generasi muda adalah dengan aktif di berbagai kegiatan-kegiatan yang positif, karena dengan demikian maka generasi muda akan mempunyai aktifitas yang akan menjauhkan dari kejenuhan, kesepian, dan terhindar dari godaan setan untuk mengisi hidup dengan kemaksiatan. Generasi muda akan selalu terlatih untuk selalu berfikir positif.

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar untuk entri artikel di blog