Tawuran antar pelajar 1 |
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
Tawuran antar pelajar 2 |
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari
masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat
emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya
dendam. Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut
akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang
dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat. Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran. Dari aspek fisik, tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu. Sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat. Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran. Dari aspek fisik, tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu. Sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah kita tahu akar permasalahannya ,
sekarang yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang
tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan
masyarakat yaitu, orang tua, guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah.
Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali
perlu dirubah. Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi
keteladanan. Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif.
Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang
aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada
proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat
kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses
pendidikan. Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga
bisa menjadi tuntunan untuk anak. Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja
memang lumayan sulit bagi orang tua. Karena internet pun dapat diakses secara
bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi. Filter yang
baik untuk anak adalah agama, dengan agama si anak bisa membentengi dirinya
sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun. Dan pendidikan anak tidak
seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian
masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan
aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya
keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK (
Bimbingan Konseling ) harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa,
Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga
persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah
tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang
ramah dan penuh kasih sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya
mengajar tetapi menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik. Yang
keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya
menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energi mereka
tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak
berubah menjadi agresivitas yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler ini, sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga. Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksi hokum. Berilah efek jerah pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler ini, sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga. Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksi hokum. Berilah efek jerah pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi. Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial yang diakibatkan
karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan.
Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social
masyarakatnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika
Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem
sosial yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas )
senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui
dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial
(kontrol sosial).
1. Sosialisasi
maksudnya adalah suatu proses dimana
individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat (
norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga
lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari
kelompok yang bersangkutan.
2. Pengawasan sosial adalah,
“ proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan
untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi
norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian
atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.
Dari berbagai kasus pelajar
tersebut tentunya sangat mengundang keprihatinan dan harus
segera mencari solusi yang baik. Beberapa solusi tersebut antara
lain adalah :
1. Mempertebal
keimanan dan ketaqwaan dikalangan generasi muda
Benteng yang sangat kokoh dalam menjawab
tantangan globalisasi agar kita tidak terjerumus dalam demoralisasi adalah
memperkokoh/mempertebal keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah, apabila kita
selalu memegang teguh semua ajaran agama kita (Islam) maka kita dengan
sendirinya akan bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang boleh dilakukan atau mana yang tidak boleh dilakukan. Singkat kata
dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah maka kita akan selamat dunia dan
akhirat, Amin.
2. Memanfaatkan
media sosialisasi keluarga, sekolah.
Menurut ilmu sosiologi, terjadinya perilaku
menyimpang itu disebabkan oleh adanya sosialisasi yang tidak sempurna dan peran
media sosialiasi yang tidak baik. Untuk menyelamatkan generasi muda dari
demoralisasi maka semua media sosialisasi harus saling mendukung antara satu
dengan yang lain agar seorang anak /remaja tertanam nilai dan norma yang sesuai
dengan harapan masyarakat.
a.
Keluarga
Dalam keadaan normal, lingkungan pertama
yang berhubungan dengan anak adalah orang tua dan saudara-saudara. sehingga
bisa dikatakan keluarga merupakan media yang pertama dalam penanaman nilai dan
norma di dalam diri seorang anak dan akan membentuk kepribadian dan
moralitasnya, apabila di dalam keluarga tidak mampu berperan dengan baik dalam
menanamkan nilai dan norma, maka si anak akan menjadi kurang baik dalam
kepribadian maupun moralnya. Didalam menyikapi masalah demoralisasi generasi
muda maka peran keluarga adalah sebagai pilar pertama untuk melakukan
perlawanan menuju keperubahan yang baik. Orang tua harus memberi perhatian yang
ekstra kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam demoralisasi, tetapi
tidak dengan jalan mengekang dan memaksa kehendak orang tua kepada anak, orang
tua harus memberi perhatian dengan penuh kasih sayang (afeksi) dengan
jalan selalu membangun komunikasi antara orang tua dan anak, sehingga anak
tidak merasa terabaikan dan lebih dihargai.orang tua juga harus mampu memberi
contoh yang baik bagi anak-anaknya baik dalam perilaku, ucapan dan perbuatan.
Harapannya agar anak bisa menghormati orang yang lebih tua yang mungkin
sekarang sudah mulai budar misalnya berbicara sopan dengan orang tua, berjabat
tangan pada guru sebagai rasa hormat dan lain sebagainya.jadikan keluarga itu
yang harmonis maka anak akan terhindar dari demoralisasi, ada istilah “rumahku
adalah istanaku (surgaku)”
b.
Sekolah
Selain keluarga maka sekolah adalah media
yang kedua dalam mengatasi masalah demoralisasi yang telah melanda generasi
muda. Sekolahan harus mampu mendidik kecerdasan, juga membina moral
dan akhlak siswanya. Tetapi sekarang banyak sekolah yang terjebak hanya
memprioritaskan agar anak didiknya mampu mendapatkan nilai yang
bagus dalam mengerjakan tugas-tugas teoritis tanpa memperhatikan
aplikasinya/prakteknya. Jika merujuk pada teori Benjamin S. Bloom (1956)
yang dikenal dengan nama taxonomy of educational objectives,
keberhasilan pendidikan secara kuantitatif mencakup tiga domain, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output
(lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak
yang tidak pernah sholat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan
Agama Islam) dengan baik, ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, ia
pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga
pendidikan moral kadang kala diabaikan dengan alasan ini dan itu, seharusnya
sekolah merupakan mitra keluarga dalam pendidikan moral anak. Tetapi kadang
kala banyak keluarga yang memikulkan tanggung jawab 100% kepada sekolah dalam
pendidikan moral ini. Solusi yang terbaik adalah sekolah dan keluarga harus
bergantengan tangan bersama-sama memberi pendidikan moral agar tidak terjadi
kemerosotan moral.
3. Aktif
di dalam kegiatan-kegiatan positif
Untuk menghindari
demoralisasi, yang perlu dilakukan oleh generasi muda adalah dengan aktif di
berbagai kegiatan-kegiatan yang positif, karena dengan demikian maka generasi
muda akan mempunyai aktifitas yang akan menjauhkan dari kejenuhan, kesepian,
dan terhindar dari godaan setan untuk mengisi hidup dengan kemaksiatan.
Generasi muda akan selalu terlatih untuk selalu berfikir positif.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar untuk entri artikel di blog