Chashitsu (ruangan upacara minum
teh)
Upacara minum teh (茶道, sadō,
chadō?,
jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯?) atau
cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami
seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk
minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab
dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi
sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan
pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara
meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang
bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama
bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang
diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata
krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil
yang dihidangkan.
Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan
matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha
disebut senchadō.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh
cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa
berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket
sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Sejarah
Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti
Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea).
Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum
teh, dan cara membuat dan menikmati teh.
Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman
Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang
dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta
bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis
pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.
Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh
Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara
merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama
Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh
tidak sempat menjadi populer.
Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan
ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual.
Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya
kebiasaan minum teh.
Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang
diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan
menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan
berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.
Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti
Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan
banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara
minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah
menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini
dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum
teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus
dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran
pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum
teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.
Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari
kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki
pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan
membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara
minum teh.
Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid
menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur
hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru
belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid
secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.
Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat
semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin
populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan
rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan
tidak secara serius seperti sedang bermain-main.
Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah
kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual
dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual
upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.
Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara
minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan
dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik
persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya
serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.
Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak
populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya
menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada
waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang
menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan
permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.
Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan
pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda
berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal
era Meiji. Hilangnya bantuan
finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses
seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara
minum teh.
Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika
Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah
sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu
atau Chanoyu.
UPACARA minum teh Jepang atau chanoyu adalah ritual tradisional Jepang dalam
menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chat
atau cha no yu.
Sementara upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate. Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang
mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan
khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu.
Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan
untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim
dan status tamu yang diundang.
Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam
arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan
rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, dan agama.
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan
penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal
untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa
basi, etiket meminum teh, dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.
Pada umumnya upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari
teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchad, sedangkan
bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchad.
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa
berarti belajar mempraktikkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket
sebagai tamu dalam upacara minum teh. Tea ceremony di
Jepang dan di China sangat berbeda sekali.
Cara minum teh di Jepang sudah ditentukan sejak beberapa ratus tahun dan tidak
pernah diubah atau diperbaiki. Teh yang dipakai juga sangat berlainan dengan
teh yang dipergunakan di China dan yang diminum atau dimakan juga sangat
berlainan.
Teh jepang yang dipergunakan untuk upacara minum teh adalah teh tipe sinensis
yang begitu dipetik langsung dikeringkan dan digiling jadi bubuk dan harus
disimpan di dalam vacuum jika ingin tahan lama. Kue
yang disuguhkan di samping teh saat upacara minum teh disebut Chakaiseki.
Jenis Upacara Minum Teh di Jepang
Sepanjang tahun terdapat beberapa jenis upacara minum teh
(tea ceremony) di Jepang dan memiliki nama tersendiri menurut waktu dan
musim saat penyelenggaraannya. Upacara minum teh pertama yang dilaksanakan
adalah pada bulan Januari yang disebut Hatsugama, yang artinya adalah
"teko pertama". Inilah satu-satunya kesempatan untuk seorang guru
(yang mengajarkan mengenai tatacara minum teh di Jepang) mempersiapkan teh dan
jamuan makan untuk murid-muridnya. Biasanya sang guru hanya akan memberikan
panduan kepada murid-muridnya, makanya saat tersebut merupakan peristiwa yang
unik bagi murid dan sang guru sebagai tuan rumah.
Akatsuki-no-chaji
Upacara minum teh ini diselenggarakan pada saat pagi-pagi sekali di musim
dingin agar dapat menikmati fajar di ruang minum teh. Hal ini merupakan
pengalaman yang luar biasa bagi yang mengikutinya karena dapat menikmati teh
sambil menyambut datangnya sinar matahari masuk ke dalam ruangan melalui
jendela kecil, sehingga ruangan lambat laun akan terang dan peralatan akan
tampak karena sebelumnya hanya menggunakan penerangan dari cahaya lilin.
Yuuzari-no-chaji
Uacara minum teh ini dilakukan pada bulan-bulan yang lebih hangat daripada
musim dingin.
Asa-cha
Upacara minum teh ini dilakukan pada saat pagi yang sejuk di musim panas.
Upacara minum teh, atau sekedar keiko (latihan bagi murid untuk
menyajikan teh) di musim panas begitu sulit dijalani, sebab arang di anglo dan
teh yang disajikan benar-benar tidak dapat membantu menghindari rasa panas di
Jepang saat musim itu berlangsung.
Shoburo
Upacara shoburo merupakan perayaan tahun baru teh dengan menggunakan
pertama kali alat furo (anglo/tungku portabel). Kalau dalam kalender
Masehi, perayaan ini diselenggarakan sekitar bulan Mei. Orang Jepang sangat
suka melakukan segala sesuatunya dengan perayaan resmi melalui kata sambutan (speech)
maupun isyarat melalui gerak tubuh (gestures), sehingga ada pengaruhnya
juga terhadap upacara minum teh.
Shougo-no-chaji
Upacara ini merupakan penyelenggaraan minum teh yang dilakukan saat tepat siang
hari (tengah hari).
Kuchikiri-no-chaji
Daun teh yang dipanen pada saat musim semi disimpan di dalam guci dan
diletakkan di tempat yang sejuk. Sekarang ini mungkin penyimpanan tersebut
berada di ruangan khusus sekitar rumah teh atau di basement rumah. Namun
dahulunya, guci tempat menyimpan daun teh yang baru dipanen diletakkan di dalam
tanah atau gunung agar tetap terjaga kesejukannya. Kira-kira tangal 7 atau 8
November, musim perayaan minum teh dimulai dan ro digunakan pertama kali
sebagai tanda masuknya musim dingin. Pada saat ini, untuk merayakan permulaan
awal musim, segel guci yang berisi teh yang dipetik pada musim semi akan
dibuka, sehingga teh baru dan segar segera dapat digunakan pertama kali.
membuka segel guci ini disebut kuchikiri. Hal ini berlangsung disertai
dengan upacara minum teh lengkap dengan sajian makanan kiocha dan usucha
yang disebut chaji.
Pada tahun baru teh tersebut, pagar dan pancuran yang
terbuat dari bambu diperbaharui, tikar tatami diganti dan shoji
(pintu geser) diganti kertasnya dengan yang baru. Pada saat upacara minum teh
pada musim ini (chaji), dilakukan pula kuchikiri dan kairo
(membuka perapian/tungku) ketika siang hari dan dilanjutkan dengan santapan (kaiseki),
teh kental dan teh encer yang berlangsung sekitar 4 jam. Upacara ro shogo no
chaji ini merupakan pelaksanaan upacara minum teh yang paling resmi dan
juga sebagai format dasar penyelenggaraan upacara
minum teh di Jepang.
Nagori-no-chaji
Pada bulan Oktober, saat akan berakhirnya musim gugur, ketika hanya ada sedikit
teh yang tersisa di guci setelah dibuka saat upacara kuchikiri, ada
perasaan sedih, seakan-akan terpisah nagori dengan teh yang ada di dalam
guci tersebut. Hal ini juga menjadi tanda saat alam mulai berganti musim, yang
menandakan melepas yang lama dan menyambut yang baru.
Yobanashi
Upacara ini merupakan upacara minum teh yang diselenggarakan pada malam hari
yang juga menyertai upacara kuchikiri dan sebagai perayaaan malam musim
dingin. Yobanashi dilakukan dalam ruangan minum teh yang hanya diterangi
oleh cahaya lilin.
Upacara Minum Teh di Jepang (2)
Nilai Spiritual Budaya Minum Teh
Pada upacara minum teh (tea ceremony), air mewakili yin dan api
mewakili yang. Air ditampung dengan sebuah guci yang disebut mizusashi.
Guci yang terbuat dari batu tersebut berisi air tawar yang melambangkan
kemurnian atau kesucian, dan hanya boleh disentuh oleh tuan rumah. Matcha,
teh yang akan disajikan, disimpan dalam sebuah tempat berupa keramik kecil yang
disebut chaire yang terbungkus dengan sebuah shifuku (kantong
sutra) yang diletakkan di depan mizusashi.
Jika teh disajikan saat siang hari, maka sebuah gong akan
dibunyikan, sedangkan jika dilangsungkan pada malam hari, maka lonceng yang
akan dibunyikan. Biasanya gong atau lonceng tersebut dipukul 5-7 kali, yang
berguna untuk memanggil para tamu yang sedang rehat sejenak tadi kembali ke
ruangan di rumah teh. Penyucian tangan dan mulut dilakukan kembali seperti saat
awal memasuki rumah teh. Para tamu akan mengamati bunga-bunga yang dipasang,
ceret dan perapian serta dudukan mereka, mangkuk teh (chawan) dan tempat
air (mizusashi). Tuan rumah masuk ke ruangan dengan membawa chawan
yang di dalammya terdapat chasen (pengaduk teh yang mirip kuas
pendek/kecil), chakin (kain linen berwarna putih) yang digunakan untuk
mengeringkan mangkuk dan chasaku (sendok teh yang terbuat dari bambu
tipis), yang digunakan untuk membagikan matcha. Semua peralatan tersebut
diatur sedemikian rupa di sisi guci air, yang mewakili matahari (melambangkan yang),
dan mangkuk yang mewakili bulan (melambangkan yin). Setelah meninggalkan
ruang persiapan upacara, tuan rumah kembali dengan membawa kensui
(mangkuk untuk air sisa), hishaku (penciduk air terbuat dari bambu) dan futaoki
(bambu hijau penutup ceret).
Dengan menggunakan fukusa (kain sutra yang sangat
halus), yang mewakili jiwa sang tuan rumah, tuan rumah menyucikan tempat teh
dan sendok teh. Keseksamaan yang begitu mendalam terlihat bagaimana sang tuan
rumah memeriksa, melipat dan menggunakan fukusa, yang memerlukan
konsentrasi dan ketenangan yang luar biasa. Selanjutnya air panas diciduk ke
dalam mangkuk teh, pengaduk teh dibilas, mangkuk teh dikosongkan dan diusap
dengan menggunakan chakin.
Tuan rumah mengangkat tempat dan sendok teh dan
membagikan tiga sendok teh ke dalam masing-masing mangkuk teh yang telah
disiapkan untuk para tamu. Air panas diciduk dari ceret dan dimasukkan ke dalam
mangkuk teh dengan jumlah secukupnya. Air tambahan dimasukkan sehingga seduhan
dapat diaduk menjadi cairan kental seperti sup. Air yang tidak terpakai
dikembalikan ke dalam ceret.
Tuan rumah memberikan mangkuk teh tersebut kepada tamu
utama yang menerimanya dengan membungkuk sebagai tanda hormat. Mangkuk tersebut
diangkat sedikit ke atas dan kemudian diputar-putar dengan tangan. Tamu
tersebut selanjutnya meminum teh yang diberikan itu, mengusap bibir mangkuk dan
memberikan ke tamu selanjutnya yang akan melakukan hal yang sama seperti tamu
utama. Setelah semua tamu menikmati teh dalam mangkuk tersebut, mangkuk
dikembalikan kepada tuan rumah dan selanjutnya dibilas. Pengaduk dibilas dan
sendok serta tempat teh dibersihkan. Setelah itu para tamu berdiskusi sesuai
bahan pembicaraan mereka.
Persiapan Penutupan Upacara Minum Teh
Api di dalam perapian dibesarkan untuk membuat usa cha (teh encer). Teh
ini akan digunakan untuk menghilangkan citarasa yang tertinggal di mulut dan
sebagai simbol persiapan para tamu untuk meninggalkan "dunia
spiritual" teh dan kembali memasuki dunia nyata. Peralatan merokok
ditawarkan, namun jarang ada yang akan merokok di ruang penyajian teh tersebut.
Hal tersebut tidak lain hanyalah sebagai relaksasi.
Zabuton (bantal kecil) dan teaburi
(penghangat tangan) diberikan kepada para tamu. Higashi (manisan kering)
juga disajikan sebagai pelengkap. Sebagai penutup, para tamu memberikan
penghargaan terhadap teh yang disajikan dan penghormatan terhadap tuan rumah
atas pelayanannya. Selanjutnya tuan rumah mengantarkan para tamunya pulang
hingga ke depan pintu rumah teh. (www.holymtn.com)
Upacara Minum Teh di
Jepang
Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual
tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk
tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯 ?) atau cha no yu.
Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.
Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami
seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk
minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab
dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan
status tamu yang diundang.
Pada umumnya, upacara minum
teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara
minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan
teh hijau jenis sencha disebut senchadō. Berikut
gambar teh dan pengaduknya .
Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh
cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no
keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau
belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Ketika masuk ruangan Anda harus memberikan hormat dan
apresiasi terhadap tuan rumah dan apa yang ada di ruangan acara.
Setiap gerakan dalam mempersiapkan teh dilakukan oleh penyaji dengan
lambat. Tungku menyala, air mendidih, perangkat diusap dengan saputangan merah
yang dilipat segitiga dan dibalutkan ke tangan kiri. Air mendidih, dan
teh siap diseduh.
Sementara itu, sebelum nimum teh, disajikan sebuah
kue yang manis sekali kepada setiap tamu. Cara menyajikan dan mengambilnya pun
ada aturan yang penuh sopan santun. Saling membungkuk antara penyaji dan tamu,
saling membungkuk untuk minta izin dan mempersilahkan mengambilnya duluan antara
tamu satu dan tamu berikutnya. Cara memegang sumpit, mengambil kue, meletakkan
di atas kertas, mengelap ujung sumpit, dan mengembalikannya juga menurut aturan
tertentu. Tamu kemudian memakan kue manis yang bentuknya sesuai dengan bunga
yang kembang pada musim itu. Untuk bulan Juni misalnya, adalah kue berbentuk
bunga ajisai. Kue itu terbuat dari tepung ketan ditambah bahan sayuran,
ditengahnya kacang merah tumbuk. Warnanya ungu, hijau dan putih. Kue ini dibuat
manis untuk mempersiapkan lidah bagi hidangan teh yang pahit.
Setelah makan kue, nyonya rumah mulai menyiduk air
yang sedang mendidih di dalam guci dengan gayung kayu, dituang ke dalam mangkuk
yang sudah berisi bubuk teh. Dikocok-kocok hingga berbuih, lalu dihidangkan.
Saat menyajikan teh kepada tamu, tuan rumah
memegang mangkuk dengan kedua tangan. Memutarnya dua kali di atas tangan kanan,
meletakkannya di atas tatami di hadapan tamu, membungkuk dan mempersilahkan.
Tamu membalas membungkuk dengan ucapan penerimaan, mengambilnya dengan dua
tangan, memutar mangkuk dua kali di atas tangannya sambil mengamati pola di
luar mangkuk, menyeruput teh sedapatnya dengan suara ribut, kemudian memberi
komentar tentang mangkuknya.
Bentuk mangkuk untuk minum teh juga disesuaikan
dengan musim. Mangkuk yang tinggi untuk musim dingin, supaya kehangatan
teh bertahan lebih lama. Mangkuk yang ceper untuk musim panas, supaya teh lebih
cepat dingin. Dari pola hiasan di luar mangkuk bisa diketahui zaman
pembuatannya.
Ketika upacara berlangsung tidak ada musik pengiring.
Hanya bunyi angin menggesek dedaunan di luar, air menetes di pancuran, dan air
mendidih di tungku kecil pojok ruangan. Suara alam, ditambah suara percakapan
dengan tamu. Biasanya percakapan dilakukan antara tuan rumah dan tamu utama
yang duduk paling ujung, paling dekat dengan tungku, paling awal mendapat
sajian. Tamu lain semestinya mendengarkan saja percakapan seperti itu, tetapi
saat ini terutama untuk tamu asing biasanya semua boleh bertanya.